Perjuangan Mengukur Ulang HGU PT SGC: Dari Tanah Lampung Untuk Keadilan Agraria dan Lingkungan

Perjuangan Mengukur Ulang HGU PT SGC: Dari Tanah Lampung Untuk Keadilan Agraria dan Lingkungan --
BANDARLAMPUNG, LAMPUNGNEWSPAPER - Di sepanjang jalan Trans Sumatra yang membelah Provinsi Lampung, hamparan hijau perkebunan tebu milik PT Sugar Group Companies (SGC) seakan tak berujung. Dari kejauhan, barisan tebu yang seragam berdiri tegak seperti tentara yang berjaga. Namun di balik kerapihan itu, ada cerita lain yang sedang tumbuh. cerita perjuangan masyarakat, aktivis, dan pemerhati lingkungan yang menuntut keadilan atas tanah dan kelestarian lingkungan hidup.
Bagi sebagian orang, perdebatan soal Hak Guna Usaha (HGU) mungkin terdengar abstrak, sekadar urusan dokumen dan batas lahan. Namun bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah konsesi, HGU berarti nasib.
Ia menentukan apakah sawah mereka bisa ditanami, apakah sumber air masih mengalir, dan apakah ruang hidup anak-anak mereka tetap terjaga.
“Ini bukan hanya soal tanah. Ini soal kehidupan kami, Sungai yang dulu jernih, lahan yang dulu bisa kami garap tempat kami mencari rejeki sekarang Hilang”
ujar 3 aliansi masyarakat yang tergabung dalam Triga Lampung.
Tiga organisasi sipil(Triga Lampung) ini, yakni Aliansi Komando Aksi Rakyat (AKAR), Koalisi Rakyat Madani (KERAMAT), dan Pergerakan Masyarakat Analisis Kebijakan (PEMATANK).
*Latar Belakang: Ketika Tanah Menjadi Pertaruhan*
Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak pengelolaan tanah yang diberikan negara kepada perusahaan untuk jangka waktu tertentu. PT. SGC sebagai salah satu perusahaan perkebunan tebu terbesar di Indonesia, memiliki konsesi yang sangat luas di Lampung.
Namun, di lapangan muncul indikasi tumpang tindih, lahan yang seharusnya menjadi tanah masyarakat atau desa justru masuk dalam peta HGU. Tak jarang, batas-batas itu juga menyentuh wilayah yang memiliki fungsi ekologis penting, seperti daerah resapan air atau kawasan penyangga lingkungan.
Aktivis lingkungan menilai, ekspansi perkebunan tebu skala besar membawa konsekuensi ekologis serius. Tanah yang terus-menerus ditanami tanaman monokultur rentan mengalami degradasi. Sementara itu, kebutuhan air untuk perkebunan skala besar kerap mengurangi ketersediaan air bagi masyarakat sekitar.
“Bukan hanya hak agraria yang dipertaruhkan,Tapi juga hak masyarakat atas air, udara bersih, dan tanah subur. Kalau lingkungan rusak, semua ikut menanggung akibatnya.”kata Indra Musta'in, Ketua DPP Akar Lampung.
Perjuangan ukur ulang HGU SGC tak lahir dari ruang kosong. Ia punya pijakan kuat dalam konstitusi dan undang-undang.
Sumber: