Kisah Tukang Becak di Kota Metro ; Pantang Menyerah!
![Kisah Tukang Becak di Kota Metro ; Pantang Menyerah!](https://lampungnewspaper.disway.id/upload/908659e4cbf268c825d0b97b51752bb4.jpg)
Becak riwayat mu kini--M.Ricardo
METRO,LAMPUNGNEWSPAPER - Siang itu, saya berjalan kaki di persimpangan Jalan Imam Bonjol dan Jalan Kyai Arsyad Kota Metro. Terlihat dua pria paruh baya yang mulanya duduk termangu memandang becaknya di tepian jalan raya, menjadi kaget dan tersentak dari lamunannya.
Keduanya menyunggingkan senyum, lalu ramah menyapa, sembari mempersilakan saya duduk. Hari itu, merupakan kali pertama saya bertemu mereka, Kamis, 9/11/2023.
Sejurus kemudian, kami saling memperkenalkan diri. Setelah saya menyulut sebatang sigaret, salah seorang dari dua pria yang berprofesi sebagai tukang becak itu mencoba memulai perbincangan.
“Panas sekali ya siang ini. Padahal kemarinan itu sudah hujan. Saya pikir bakal sering-sering hujan. Malah masih aja panas lagi, panas lagi. Luar biasa cuaca belakangan ini, susah ditebak,” kata Muhtar, salah seorang tukang becak berusia 48 tahun, warga Imopuro, Kecamatan Metro Pusat.
“Dulu itu, biasanya penumpang bakalan ramai kalau pas musim. Musim hujan itu memang musim cuaca yang paling ditunggu-tunggu tukang becak waktu dulu itu. Beda dengan sekarang. Mau kemarau, mau hujan, pokoknya ya tetap aja sepi,” timpalnya sambil tertawa.
BACA JUGA:Disperkim Klaim Perumahan di Bandar Lampung Telah Berizin
Sedangkan rekan seprofesinya, Suranto, pria berusia 55 tahun, warga Purwosari, Metro Utara, terlihat hanya tersenyum-senyum kecil, seolah menahan tawa sambil mengernyitkan dahinya.
Sepi peminat memang sudah setiap hari dialami para pengayuh becak. Mereka sangat memahami, bahwa majunya perkembangan zaman tidak seiring sejalan dengan minat masyarakat menggunakan jasa angkutan tua seperti becak. Alat transportasi asal negeri matahari terbit yang sempat menjamur di Indonesia itu, kini tak begitu lagi diminati.
Saban hari, waktu bekerja Muhtar dan Suranto dimulai dari jam 5 pagi sampai jam 5 sore. Jam kerja itu lebih banyak habis dalam cengkerama ketimbang menggowes becaknya.
Pernah tersirat di benak keduanya untuk beralih profesi. Namun apa daya. Tenaga yang habis termakan usia, materi yang tak kunjung terkumpul sebagai modal usaha dan keahlian khusus yang terbatas, membuat mereka tidak ada pilihan lain untuk mencari nafkah, selain menjalani profesi sebagai tukang becak.
“Saya punya motor. Pernah mau coba jadi ojek online aja, tapi kan harus punya handphone dan harus isi kuota. Sedangkan saya, punya uang untuk makan dan anak sekolah aja, sudah syukur-syukur,” kata Suranto.
“Saya pernah ngalamin, tiga hari berturut-turut enggak dapat uang sama sekali. Sampai bingung mau gimana. Memang hutang di warung sudah menumpuk, ditambah enggak dapat penumpang pula. Ya mau gimana lagi kan, memang lagi sepi. Ya sabar aja, sambil berdoa, pokoknya jalani aja lah ya, pantang menyerah,” lanjutnya.
Meski harus mangkal di bawah terik matahari dan disapu debu jalanan, atau diterpa kencangnya hembus angin dan dinginnya air hujan. Mereka tak pantang menyerah mengais rezeki di tengah arus persaingan dalam kemajuan peradaban. (MRC)
Sumber: