Kuasa Hukum Nilai Polda Lampung Keliru Klasifikasikan Dugaan Pemalsuan Surat Tanah sebagai Perkara Perdata

Kuasa Hukum Nilai Polda Lampung Keliru Klasifikasikan Dugaan Pemalsuan Surat Tanah sebagai Perkara Perdata

- Wilson colling SH MH - ⁠Putrawan duha SH - ⁠YULIANA SH MH - ⁠HERIANTO BOO SH Kuasa Hukum Dari Sari Mewati Djoenadi --

Bandar Lampung, –Kuasa hukum pelapor SARI MEWATI DJOENAEDI dalam perkara dugaan pemalsuan surat hak atas tanah, Wilson Colling, S.H., M.H., ⁠Putrawan duha SH YULIANA SH MH Dan HERIANTO BOO SH menyampaikan bantahan keras terhadap pernyataan Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Lampung yang mengklasifikasikan laporan kliennya bukan merupakan peristiwa pidana, melainkan sebagai sengketa perdata. Menurutnya, klasifikasi tersebut tidak berdasar secara hukum dan berpotensi menyesatkan proses penyidikan.

 

“Pernyataan tersebut sangat prematur, menyesatkan, dan tidak sesuai dengan fakta hukum maupun alat bukti yang telah terang-benderang dikemukakan sejak awal proses penyidikan,” ujar Wilson Colling dalam keterangannya, Jumat (20/6).

BACA JUGA:Polda Lampung Klaim Kasus Dugaan Pemalsuan Akte Jual Beli Tanah Bukan Tindak Pidana

Wilson menegaskan, laporan kliennya yang tercatat dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B-438/III/2019/LPG/SPKT tertanggal 28 Maret 2019, telah diuji melalui praperadilan dan diputuskan sah untuk dilanjutkan. Bahkan, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebelumnya telah dibatalkan oleh pengadilan, yang artinya penyidik diwajibkan melanjutkan proses hukum atas perkara tersebut.

 

Namun hingga kini, pihak pelapor dan Kuasa hukum tidak pernah menerima surat resmi atau pemberitahuan tertulis dari Polda Lampung terkait perubahan klasifikasi perkara menjadi perdata. Hal ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan perkara.

 

Wilson menjelaskan bahwa dalam proses penyidikan ditemukan 12 Surat Keterangan Jual Beli (SKJB) yang digunakan oleh pihak terlapor untuk mengklaim kepemilikan tanah. Namun, seluruh SKJB tersebut tidak disertai akta jual beli dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan juga tidak tercatat dalam administrasi resmi desa.

 

“Keabsahan dokumen sangat diragukan. Bahkan diduga kuat merupakan hasil rekayasa yang bertujuan untuk mengaburkan status kepemilikan tanah. Ini adalah indikasi kuat tindak pidana pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat 1 dan Ayat 2 KUHP,” kata Wilson.

 

Selain itu, tim kuasa hukum menyoroti bahwa penyidik belum melaksanakan seluruh petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU), termasuk belum melakukan penyitaan terhadap dokumen-dokumen penting yang menjadi alat bukti utama dalam perkara ini. Hal tersebut dinilai sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap prosedur hukum yang berlaku.

 

Sumber: