Wartawan, Buruh Kerah Putih di Persimpangan Jalan

--
Pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan betapa rapuhnya struktur ketenagakerjaan dalam industri media. Bahkan dalam media besar sekalipun, banyak wartawan honorer, kontributor lepas, hingga wartawan magang yang tidak memiliki kepastian kerja.
Jika para pekerja media tidak diperhatikan, bagaimana media bisa memperjuangkan nasib pekerja lain?
Kita sering menulis tentang buruh pabrik yang dipaksa lembur. Tapi lupa, bahwa kita sendiri kadang menulis berita itu di tengah malam, saat anak-anak kita sudah tidur, dan kita belum makan malam.
Kita sering mengangkat suara buruh yang dibayar di bawah UMR. Tapi lupa bahwa sebagian wartawan juga menerima honor ratusan ribu per bulan—kadang bahkan dalam bentuk pulsa atau transport, bukan gaji tetap.
Kita sering menyoroti perusahaan nakal yang tak memberikan hak pekerja. Tapi apakah media tempat kita bekerja benar-benar bersih dari praktik yang sama?
Ironi ini bukan untuk saling menyalahkan. Tapi untuk membuka mata bahwa perjuangan buruh juga harus dimulai dari dalam profesi kita sendiri.
Sebagai Koordinator Poros Wartawan Lampung, saya percaya bahwa organisasi wartawan harus hadir sebagai rumah perjuangan, bukan sekadar simbol status. Organisasi wartawan harus menjadi tempat berlindung saat ada anggotanya dikriminalisasi. Menjadi tempat belajar saat ada anggotanya kesulitan mengembangkan kapasitas. Menjadi tempat advokasi saat ada anggotanya mengalami ketidakadilan di tempat kerja.
Kita harus keluar dari budaya diam. Wartawan harus berani bicara tentang kesejahteraan profesinya sendiri, tanpa takut dicap “tidak profesional” atau “tidak tahu diri”. Sebab tidak ada martabat dalam diam saat ketidakadilan terjadi.
Tanggal 1 Mei kemarin adalah Hari Buruh Internasional. Tapi, mengapa wartawan tidak pernah benar-benar merayakannya? Mengapa kita hanya meliput buruh yang demo, tanpa ikut merefleksikan diri bahwa kita pun bagian dari mereka?
Hari Buruh seharusnya menjadi momen bagi wartawan untuk bersolidaritas, bukan hanya sebagai peliput, tapi sebagai bagian dari dunia kerja yang harus diperjuangkan haknya.
Mungkin sudah waktunya para wartawan juga membawa poster: “Kami bukan alat kekuasaan. Kami adalah pekerja informasi yang butuh perlindungan dan kesejahteraan.”
Impian sederhana saya adalah agar anak-anak wartawan bisa sekolah dengan layak, agar wartawan bisa membeli rumah tanpa harus jadi “Agen iklan”, agar wartawan bisa pensiun tanpa khawatir besok makan apa.
Untuk itu, perlu langkah bersama:
Mendorong kontrak kerja dan upah layak bagi semua wartawan.
Memperkuat organisasi profesi agar bisa menjadi pelindung sejati, bukan sekadar stempel legalitas.
Sumber: