Wartawan, Buruh Kerah Putih di Persimpangan Jalan

Wartawan, Buruh Kerah Putih di Persimpangan Jalan

--

Oleh: Junaidi Ismail

(Koordinator Poros Wartawan Lampung)

 

“Wartawan dari dulu hingga kini adalah buruh kerah putih berjeans biru. Makanya sebutannya kuli tinta.”

Kalimat ini disampaikan oleh salah satu wartawan senior Lampung, Herman Batin Mangku (HBM), dalam sebuah grup WhatsApp organisasi wartawan. Sebuah komentar singkat, namun mengandung makna mendalam, sekaligus menggugah kesadaran saya sebagai sesama pewarta.

Komentar ini muncul sebagai respons atas tulisan saya yang berjudul “Peran Pers dan Media dalam Membela Pekerja”. Sebuah tulisan reflektif tentang bagaimana media massa dan insan pers seharusnya memainkan peran lebih signifikan dalam memperjuangkan hak-hak kaum pekerja. Namun dlam perjalanannya, saya juga dihadapkan pada kenyataan bahwa wartawan bukan hanya pembela pekerja, mereka adalah bagian dari pekerja itu sendiri.

Saya sangat setuju dengan HBM. Dan dari sanalah, tulisan ini lahir sebagai refleksi, sekaligus ajakan, bahwa sudah saatnya wartawan tidak hanya menjadi pena bagi orang lain, tapi juga menjadi suara bgi dirinya sendiri.

Jika ada profesi yang menulis tentang semua hal, dari istana hingga kampung, dari tragedi hingga kemenangan, maka itulah wartawan. Tapi sering kali, dalam narasi-narasi besar itu, wartawan melupakan satu hal: menulis tentang dirinya sendiri.

Wartawan adalah pekerja. Mereka bukan pemilik media. Mereka bukan pemilik saham. Mereka bukan bos iklan. Mereka adalah para peliput yang bekerja dari pagi hingga larut malam, berpacu dengan tenggat waktu, bersaing dengan algoritma, kadang berhadapan dengan intimidasi, bahkan ancaman keselamatan. Semua itu dilakukan demi menyampaikan fakta dan kebenaran kepada publik.

Tapi, siapa yang peduli pada wartawan?

Sebutan “buruh kerah putih berjeans biru” begitu pas menggambarkan kondisi wartawan hari ini. Mereka mengenakan kemeja untuk tampil rapi di hadapan narasumber, namun tetap memakai jeans lusuh saat mengejar berita di pasar atau pinggiran kota. Di satu sisi, mereka dianggap profesional—kerah putih. Di sisi lain, mereka tetap harus siap bekerja di medan apapun—berjeans biru.

Mereka bukan pegawai kantoran yang bisa pulang jam lima. Mereka juga bukan artis media sosial yang hidup dari endorsement. Mereka adalah pekerja, dengan gaji kadang tak layak, dengan jam kerja tanpa batas, dengan tekanan kerja yng luar biasa.

Dan sebutan kuli tinta—dulu mungkin terdengar kasar—sekarang justru menjadi simbol perjuangan. Simbol dari profesi yang bekerja dengan semangat, tetapi sering dilupakan dalam sistem.

Mari kita tengok ke dalam. Berapa banyak media di Indonesia yang memberikan kontrak kerja jelas kepada wartawannya? Berapa yang membayar sesuai UMR? Berapa yang menyediakan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan? Dan lebih penting lagi, berapa yang mau mendampingi wartawannya saat terkena masalah hukum karena berita yang ia tulis?

Sumber: