Dari Lampung untuk Indonesia: Menyulam Ketahanan Sosial di Tengah Ancaman Ekstremisme

Dari Lampung untuk Indonesia: Menyulam Ketahanan Sosial di Tengah Ancaman Ekstremisme

Dari Lampung untuk Indonesia: Menyulam Ketahanan Sosial di Tengah Ancaman Ekstremisme--

BANDARLAMPUNG, LAMPUNG NEWSPAPER - Ada yang tak biasa di sebuah ruang pertemuan Hotel Batiqa, Bandarlampung, Jumat pagi itu, Jumat, 25 April 2025. Bukan sekadar diskusi buku atau pemutaran film dokumenter.

Di balik agenda intelektual itu, terdapat benang-benang cerita yang menghubungkan masa lalu penuh luka, masa kini yang penuh ketidakpastian, dan masa depan yang menuntut keberanian untuk berbenah.

Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah” dan film dokumenter “Road to Resilience” menjadi titik temu antara trauma kolektif dan harapan baru.

Diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan mitra strategis, kegiatan ini bukan hanya sebuah ajang refleksi, melainkan panggilan untuk menyusun kembali lanskap kebangsaan yang mulai terkoyak oleh polarisasi ideologis.

Ketika Dr. Noor Huda Ismail berbicara, suasana ruang menjadi hening. Mantan jurnalis investigatif yang kini dikenal sebagai pionir pendekatan naratif dalam deradikalisasi itu tak sekadar memaparkan data, melainkan menggugah kesadaran terdalam para peserta yang hadir.

“Lampung bukan hanya daerah transit. Ia adalah titik pertemuan ideologis antara ketegangan pusat-perifer, antara nasionalisme dan fanatisme,” ungkapnya.

Ia merujuk pada dua insiden yang nyaris terlupakan oleh media arus utama: pembubaran jemaat gereja di Tulang Bawang dan Rajabasa, Bandarlampung pada 2021–2022. Kejadian-kejadian itu, menurutnya, mencerminkan proses radikalisasi yang telah berlangsung lama dalam sunyi.

“Fanatisme tidak muncul tiba-tiba. Ia bertunas dari kekecewaan sosial, dari ketidakadilan yang dirasakan, dari identitas yang teralienasi,” lanjut Huda.

Pentingnya pendekatan naratif dan komunikasi strategis dalam menangani Foreign Terrorist Fighters (FTF) menjadi sorotan utamanya. Sebab para pelaku kekerasan bukan semata individu jahat, tapi sering kali adalah korban dari sistem yang gagal memberi mereka rasa memiliki.

Weti Deswiyati, Kasubdit Kerja Sama Multilateral BNPT, dengan tenang namun tegas menggarisbawahi bahwa pencegahan ekstremisme kekerasan tak bisa diserahkan hanya kepada institusi negara.

“Kami, BNPT, tidak bisa bekerja dalam ruang kosong. Akademisi, komunitas lokal, media, bahkan sektor swasta, semua harus dilibatkan secara sistemik,” tegasnya.

Weti menjelaskan bagaimana BNPT telah menjalin kerja sama lintas negara di kawasan konflik seperti Suriah, mengintegrasikan pendekatan diplomasi lunak dan penanggulangan berbasis komunitas.

Di balik data yang ia paparkan, tersirat kegelisahan: bahwa pola rekrutmen ideologi ekstremis semakin kompleks —terutama dalam ranah digital.

Rehabilitasi terhadap individu yang terpapar pun harus melampaui pendekatan formal. “Kita tidak cukup hanya mendekontruksi ideologi, kita harus membangun ulang kemanusiaan mereka yang selama ini direduksi oleh narasi kebencian,” tambahnya.

Sumber: