Dari Lampung untuk Indonesia: Menyulam Ketahanan Sosial di Tengah Ancaman Ekstremisme

Dari Lampung untuk Indonesia: Menyulam Ketahanan Sosial di Tengah Ancaman Ekstremisme--
Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah Provinsi Lampung, M. Firsada, tak menampik bahwa daerahnya punya sejarah panjang yang berkaitan dengan jaringan terorisme nasional. Dalam sambutannya, ia mengungkap bahwa Lampung pernah menjadi tempat persinggahan beberapa tokoh jaringan radikal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hal ini memperlihatkan adanya simpul strategis yang menjadikan Lampung sebagai wilayah rawan.
Namun, Firsada juga menunjukkan sisi optimistis. Ia mengungkapkan bahwa Pemprov Lampung tengah menyusun serangkaian program kolaboratif dengan prinsip keterlibatan masyarakat. Lima pilar yang diusung BNPT —Repatriasi, Rehabilitasi, Relokasi, Reintegrasi, dan Resiliensi— diadopsi ke dalam pendekatan daerah yang lebih kontekstual.
“Kami mencoba melihat dari kacamata lokal. Setiap desa, setiap kecamatan, punya dinamika sendiri. Tidak bisa disamaratakan. Karena itu, pendekatan kami bersifat lintas-sektoral dan berbasis akar rumput,” ujarnya.
Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme (RAN PE) 2025–2029 yang tengah disusun menjadi benang merah dari semua diskusi yang berlangsung. Bukan sekadar dokumen negara, RAN PE diposisikan sebagai kerangka kerja yang fleksibel namun komprehensif untuk menjawab tantangan ekstremisme masa kini.
Dengan melibatkan masukan publik, terutama dari Kesbangpol Provinsi Lampung dan mitra-mitra strategis lainnya, BNPT ingin memastikan bahwa RAN PE bukan produk elitis yang jauh dari realitas lapangan.
Renstra BNPT sendiri telah diselaraskan dengan kebijakan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), menjadikannya sebagai model integrasi kebijakan yang terukur.
Di akhir acara, film Road to Resilience diputar. Para peserta tampak larut dalam kisah nyata perjuangan mantan pelaku yang mencoba kembali ke masyarakat. Bukan akhir yang bahagia, melainkan perjalanan panjang yang penuh luka, penghakiman, dan perjuangan untuk diterima kembali sebagai manusia.
Terkadang, perubahan tidak datang dari kebijakan. Ia tumbuh dari cerita. Dari ruang-ruang diskusi seperti ini. Dari keberanian untuk mendengarkan yang selama ini dibungkam. Dari upaya mendekati bukan menghakimi.
Dan hari itu, Bandarlampung memberi contoh kecil, namun berarti: bahwa menghadapi ekstremisme bukan hanya tentang mencegah kekerasan, tapi juga tentang memulihkan kemanusiaan yang retak.
Jika kamu ingin versi ini disesuaikan lagi untuk media tertentu, atau ingin ditambahkan kutipan narasumber tambahan, infografis, atau subjudul per bagian, tinggal beri tahu saja.
Sumber: