Transformasi ini mencakup pergeseran dari teologi yang terlalu maskulin menuju keseimbangan maskulin–feminin, dari orientasi antroposentris menuju perspektif ekoteologis yang menempatkan manusia, alam, dan Tuhan dalam relasi yang harmonis. Selain itu, pendekatan atomistik perlu digantikan dengan cara pandang holistik, serta religiositas yang sempit dan eksklusif diarahkan menuju religious-mindedness, yakni agama sebagai kompas moral yang membimbing kehidupan secara terbuka, inklusif, dan membebaskan. Maka dari itu,pendidikan Islam tidak hanya mengajarkan doktrin, tetapi membentuk cara berpikir yang reflektif dan transformatif.
Keempat, Dimensi Filosofis Kurikulum Berbasis Cinta. Kurikulum berbasis cinta memiliki fondasi filosofis yang kuat karena bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Di dalamnya terkandung dorongan untuk berbuat kebaikan, empati terhadap penderitaan dan keterbelakangan, pembentukan ikatan sosial yang hangat, serta kesiapan untuk berkorban demi kepentingan bersama. Kurikulum ini juga menumbuhkan sikap memaafkan, solidaritas, dan semangat membangun komunitas belajar yang inklusif.
Pendidikan yang kehilangan dimensi cinta berisiko melahirkan individu yang unggul secara teknis, tetapi miskin kepekaan moral dan sosial, sehingga gagal membentuk manusia yang utuh dan berkepribadian matang.
Kelima, Kejelasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pendidikan. Menteri Agama menekankan bahwa pendidikan Islam harus dibangun di atas landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang jelas.
Secara ontologis, pendidikan perlu menjawab hakikat realitas dan manusia yang dipelajari. Secara epistemologis, pendidikan harus menjelaskan bagaimana pengetahuan diperoleh, diuji, dan dipertanggungjawabkan.
Secara aksiologis, pendidikan harus memastikan bahwa ilmu digunakan untuk tujuan yang bernilai dan bermakna. Tanpa kejelasan ketiga landasan ini, pendidikan Islam berisiko kehilangan arah, terjebak pada rutinitas teknis, dan terlepas dari tujuan moral yang seharusnya diemban.
Keenam, Kerja Intelektual dan Implementatif Secara Simultan. Pengembangan pendidikan Islam tidak cukup dilakukan pada tataran gagasan, tetapi harus berjalan seiring dengan praktik nyata dalam kehidupan sosial.
Oleh karena itu, kerja intelektual-konseptual harus berjalan beriringan dengan kerja implementatif. Dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum perlu diakhiri, sebagaimana tradisi keilmuan Islam klasik yang memadukan ilmu keislaman dan ilmu pengetahuan secara harmonis.
Pendidikan Islam masa depan dituntut relevan secara intelektual sekaligus berdampak secara sosial, sehingga mampu menjawab kebutuhan zaman tanpa kehilangan orientasi nilai.
Sebagai penutup, seluruh gagasan tentang Peta Jalan Pendidikan Islam menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar instrumen administratif atau teknis, melainkan proyek peradaban yang menuntut arah nilai, kedalaman makna, dan keberanian transformasi.
Kurikulum sebagai desain masa depan umat, pendekatan berbasis cinta, transformasi paradigma teologi, kejelasan ontologis, epistemologis, aksiologis, hingga tuntutan kerja intelektual yang berpadu dengan praksis sosial, semuanya bermuara pada satu tujuan: melahirkan manusia berilmu, berakhlak, dan bertanggung jawab terhadap kemanusiaan.
Peta Jalan Pendidikan Islam menjadi kompas moral dan strategis untuk memastikan bahwa kemajuan ilmu dan teknologi tetap berpijak pada nilai keadaban dan keadilan.
Sebagai bagian dari ekosistem Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, UIN Raden Intan Lampung memiliki peran strategis dalam mengaktualisasikan arah besar tersebut.
Melalui penguatan kurikulum integratif, pengembangan riset berdampak, serta pengabdian masyarakat yang berorientasi pada kemaslahatan, UIN Raden Intan Lampung dapat menjadi laboratorium hidup bagi implementasi pendidikan Islam yang transformatif.
Dengan memadukan tradisi keilmuan, etika keislaman, dan sensitivitas terhadap tantangan zaman, UIN Raden Intan Lampung berpeluang menjadi simpul penting dalam membangun kepemimpinan intelektual dan moral yang berkontribusi bagi terwujudnya Indonesia Emas.