Masa Kepemimpinan Arinal, Walhi: Masalah Lingkungan Masih Abai

Masa Kepemimpinan Arinal, Walhi: Masalah Lingkungan Masih Abai

Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri--

BANDARLAMPUNG, LAMPUNG NEWSPAPER - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung menilai Isu Lingkungan Hidup dan Kepentingan Masyarakat kecil belum menjadi prioritas dalam masa kepemimpinan Arinal Djunaidi selama 5 tahun masa jabatan Gubernur Lampung.
Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri menyampaiakan, selama periodesasi kepmimpinan Gubernur Arinal, persoalan Lingkungan Hidup tidak pernah mencapai pada penyelesaian yang serius. Yang terbaru ialah di sisa penghujung masa jabatannya, Gubernur Arinal belum mencabut Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu yang telah diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 yang telah dinyatakan melanggar peraturan diatasnya oleh Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya, lahirnya peraturan gubernur yang telah berjalan lebih kurang 4 tahun tersebut jelas telah menguntungkan korporasi perkebunan tebu yang ada di Provinsi Lampung serta telah mengabaikan hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Terbitnya Peraturan Gubernur tersebut merupakan karpet merah bagi korporasi untuk melakukan pengabaian terhadap hak atas lingkungan hidup dan hak masyarakat yang dapat dilakukan oleh korporasi perkebunan tebu secara legal dan tentunya ini sangat merugikan masyarakat yang terganggu akibat asap yang muncul dari aktivitas pemabakaran serta adanya debu yang masuk hingga wilayah pemukiman masyarakat serta pemanenan dengan cara membakar ini juga tentunya akan menambah polusi dan sebaran emisi di Indonesia khususnya Provinsi Lampung.
"Arinal sebagai Kepala Pemerintahan Provinsi Lampung seharusnya memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memberikan rekomendasi aturan yang mendukung hidup dan sumber-sumber penghidupan Masyarakat Provinsi Lampung ke Pemerintah Indonesia mengedepankan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan prinsip kehati-hatian Bukan justru melindungi para korporasi di Provinsi Lampung yang terus menggerus sumber daya yang ada," ujarnya kepada Lampung Newspaper, Kamis, 13 Juni 2024.
Lebih lanjut, persoalan lainnya yang masih terjadi di Provinsi Lampung ialah sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan slogan yang selama ini digaungkan dalam kepemimpinan Gubernur Arinal yaitu “Petani Berjaya”.
"Petani berjaya yang selalu digadang-gadang melindungi petani serta memberikan kemudahan akses terhadap petani justru kontradiksi dengan apa yang terjadi di lapangan. Eksistensi petani lampung terancam karena sulitnya mengakses pupuk subsidi, kenaikan harga bibit dan obat-obatan, serta harga jual hasil pertanian yang sangat murah, ketersediaan ruang atau lahan pertanian," bebernya.
Petani tidak memiliki posisi tawar yang jelas atas hasil tani yang mereka produksi akibat banyaknya tengkulak serta belum ada aturan atau regulasi yang mengatur hal tersebut. Akibatnya, tidak ada kepastian pasar produk pertanian dengan harga yang menguntungkan para petani. Petani terpaksa mengikuti aturan main para tengkulak yang sewenang-wenang mengatur harga jual dan beli hasil pertanian, sebab jika tidak, maka para petani tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Program pemerintah yang tidak berpihak, salah satunya ialah proyek pembangunan Kota Baru di mana petani kota baru terancam kehilangan mata pencaharian menyebabkan tergusurnya petani dari lahan garapan mereka yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian utama dan identitasnya.
Dampaknya juga meluas ke aspek sosial, karena banyak petani yang kehilangan akses lahan garapan yang sudah berlangsung secara turun temurun, serta terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan terkait proyek pembangunan tersebut. Penggusuran lahan garapan petani untuk pembangunan Kota Baru menyoroti ketidaksetaraan dalam distribusi tata kuasa dan tata kelola pertanian yang buruk di Provinsi Lampung. Meskipun pertanian telah menjadi tulang punggung ekonomi lokal, petani sering kali tidak memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang cukup untuk melawan kepentingan pembangunan yang lebih besar. Dalam hal ini, petani menjadi pihak yang rentan dan mudah diabaikan dalam proses pengambilan keputusan pembangunan.
Kemudian program pendalaman alur di Kampung Kuala Teladas Kabupaten Tulang Bawang yang melibatkan pihak ketiga yaitu PT Sienar Tri Tunggal Perkasa sebagai pelaksana yang dalam praktiknya hanya untuk mengambil pasir dan tanpa kelengkapan izin PKPPRL hal ini tentunya sudah mengangkangi PERDA RZWP3K Provinsi Lampung yang tidak ada ruang Tambang di Wilayah Pesisir Lampung Kecuali untuk Minyak dan Gas bumi di lampung timur.
"Seharusnya pemerintah provinsi lampung bersikap tegas dan bijaksana dalam mengelola sumber daya alam yang ada diprovinsi lampung dengan mengelola SDA yang berkelanjutan dan berkeadilan bukan menjadikan SDA hanya sebagai objek untuk diekploitasi tapi dilakukan dengan pemanfaatan dan pengembangan yang berkelanjutan dan melibatkan masyarakat sekitar. Apa lagi sekarang telah muncul PP 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan sedimentasi di laut yang dinilai mengancam keberlangsungan laut lampung dan memicu maraknya izin tambang pasir laut dilampung," kata Irfan.
Lahirnya PP 26 tersebut harusnya menjadi perhatian khusus pemerintah provinsi lampung sebagai kepala daerah yang lebih memahami potensi daerah terkait sumber daya alam lampung dalam upaya perlindungan dan pengelolaan SDA yang berkelanjutan tentunya harus ada sikap yang tegas karena Peraturan ini berpotensi merusak kawasan pesisir dan mengancam kehidupan para nelayan.
Irfan bilang, perairan Pesisir Timur merupakan lumbung perikanan: Provinsi Lampung merupakan salah satu penghasil rajungan utama di Indonesia. Secara nasional pada tahun 2019-2020, Lampung berkontribusi sekitar 10-12% dari total ekspor Indonesia, dimana Lampung menempati urutan ke tiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah (BKIPM, 2021).
Daerah penghasil utama rajungan Lampung terletak di pesisir timur Lampung meliputi 3 kabupaten yaitu Lampung Timur, Lampung Tengah dan Tulang Bawang dengan nilai ekspor Rajungan dari Pesisir Timur Lampung sejumlah 500 M.
Kegiatan ini nantinya akan menimbulkan dampak terhadap Jumlah Nelayan dan Masyarakat yang tergantung pada kegiatan perikanan rajungan sekitar 1.100 kapal nelayan kecil dengan ukuran kapal kurang dari 5 GT dan menggunakan alat tangkap utama jaring dan sebagian kecil bubu. Jumlah total nelayan rajungan di Lampung sekitar 4.000 orang.
Di sektor hilir, kegiatan pasca panen perikanan rajungan melibatkan lebih dari 2.000 orang pekerja yang bekerja di lebih 20 unit miniplant rajungan dan 5 unit pengolahan ikan (UPI) sekaligus sebagai eksportir rajungan.
"Keseluruhan miniplant tersebut terletak di desa-desa pusat pendaratan rajungan dan merupakan UMKM yang memperkerjakan sebagian besar tenaga kerja perempuan tentu ini harus menjadi pertimbangan oleh negara dalam mengambil keputusan," tandasnya. (*)

Sumber: