Penjelasan BMKG Soal Kapan El Nino Berakhir

Penjelasan BMKG Soal Kapan El Nino Berakhir

--pixabay

El Nino adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Pemanasan SML ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Pemanasan yang terjadi pada SML akan meningkatkan risiko pertumbuhan awan untuk area Samudera Pasifik tengah. Secara singkat, El Nino akan menyebabkan kekeringan secara umum.

Menurut LindungiHutan, fenomena El Nino sendiri dapat disebabkan oleh banyak hal. Seperti garis khatulistiwa, interaksi laut-atmosfer, sirkulasi walker atau tinggi rendahnya tekanan udara di wilayah tertentu, hingga angin monsoon. Penyakit bisa timbul karena cuaca yang ektrem ini. Masyarakat menjadi lebih rentan mengalami flu, diare, demam berdarah dan lainnya.

Dalam hal pertanian, fenomena perubahan iklim seperti terjadinya El Nino dapat membuat tanaman rusak dan kekurangan pasokan air bersih. Kelembaban udara yang meningkat dapat memancing kehadiran hama serta menyebabkan tanaman tidak bisa dipanen. Sementara itu, tambah dia, wilayah yang baru memasuki musim kemarau pada bulan Juni meliputi Jakarta, sebagian kecil Pulau Jawa, sebagian besar Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, sebagian besar Riau, sebagian besar Sumatera Barat, sebagian Pulau Kalimantan bagian selatan, dan sebagian besar Pulau Sulawesi bagian utara.

Sementara itu, terkait prakiraan dinamika atmosfer-laut Dwikorita menyebutkan bahwa hingga akhir Februari 2023 kondisi ENSO berada pada fase La Nina lemah. Lalu La Nina diprediksi akan segera beralih ke fase netral pada periode Maret 2023 dan bertahan hingga semester pertama 2023.

Sedangkan, pada semester kedua, terdapat peluang sebesar 50-60% bahwa kondisi Netral akan beralih menuju Fase El Nino. Indian Ocean Dipole (IOD) saat ini berada pada kondisi netral dan diprediksi akan bertahan hingga akhir tahun 2023.

Maka dari itu, menyikapi situasi tersebut BMKG menghimbau Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, institusi terkait, dan seluruh masyarakat untuk lebih siap dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak musim kemarau terutama di wilayah yang mengalami sifat Musim Kemarau bawah normal (lebih kering dibanding biasanya)” lanjut Dwikorita.

"Wilayah tersebut diprediksi mengalami peningkatan risiko bencana kekeringan meteorologis, kebakaran hutan dan lahan, dan kekurangan air bersih. Perlu aksi mitigasi secara komprehensif untuk mengantisipasi dampak musim kemarau yang diperkirakan akan jauh lebih kering dari tiga tahun terakhir," lugasnya.

Pemerintah Daerah dan masyarakat, dapat lebih optimal melakukan penyimpanan air pada akhir Musim Hujan ini untuk memenuhi danau, waduk, embung, kolam retensi, dan penyimpanan air buatan lainnya di masyarakat melalui gerakan memanen air hujan” tambahnya.

Sumber: