Ferry Irwandi, OKP, dan Indonesia yang Anti-Kritik

Ferry Irwandi, OKP, dan Indonesia yang Anti-Kritik

--

 

Kabar terakhir, Satsiber TNI diberitakan berkonsultasi dengan Polri mengenai dugaan tindak pidana oleh Ferry. Jika benar akan diteruskan sebagai laporan, maka di sinilah absurditasnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi sudah terang: Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024 melarang lembaga pemerintah, institusi, dan korporasi melaporkan kasus dugaan pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27A Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Putusan ini mengubah norma "orang lain" menjadi "individu" atau "seseorang", sehingga penerapan pasal tersebut kini hanya untuk pencemaran yang ditujukan kepada orang perseorangan, bukan lembaga atau badan hukum. 

Namun, faktanya, hukum di Indonesia kerap dijalankan seperti karet—lentur untuk kepentingan negara, kaku untuk membelenggu warganya. Hukum dipraktekkan sebagai alat gebuk bagi warga yang berhaluan lain dari kehendak kekuasaan.

Kritik tidak lagi dilihat sebagai harta karun demokrasi, melainkan sebagai hama yang harus dibumihanguskan. Apakah demokrasi berarti rakyat hanya boleh berbisik dalam hati, sementara kekuasaan boleh teriak sekeras-kerasnya?

Jika seorang Ferry Irwandi saja yang terkenal dan punya banyak pengikut bisa dengan mudah dipidanakan, apa kabar aktivis organisasi mahasiswa dan kepemudaan? Bukankah mereka selama ini tumbuh dari tradisi mengkritik? Apakah artinya lagi bila setiap diskursus, kajian, atau demonstrasi mahasiswa berpotensi sebagai tindak pidana?

Jika nanti Ferry Irwandi betul dipidanakan, maka sudahlah. Lebih baik OKP-OKP membubarkan diri saja. Tidak perlu lagi bersusah payah menggelar kajian, menyiapkan aksi, atau menulis pernyataan sikap. Lebih aman kalau semua pulang balik badan saja.

Sebab, toh setiap usaha menghidupkan kritik bisa berujung pada kriminalisasi. Para aktivis muda lebih baik mengajukan pensiun dini dari kegiatannya. Tentu saja, ada satu pengecualian: jika jalan aktivisme memang diniatkan sebagai karier politik informal untuk menjadi pejabat, penguasa berikutnya.

Sebagaimana saat aktivis 1998 yang lantang menjatuhkan Suharto, ternyata di dalam hati mereka ingin gantian merampok saja. Dan kemudian kini, mereka yang telah menjabat menjadi Suharto Suharto kecil semua.

Barangkali tidak semua dari kita sependapat dengan pendapat-pendapat Ferry Irwandi, tapi kita semua pasti sepakat untuk membela mati-matian hak setiap orang untuk berpendapat tanpa dikriminalisasi.

Di sisi yang sangat sepi, orang Indonesia memang memiliki kecenderungan tidak suka dikritik, bahkan anti-kritik. Kalau saja begitu, mungkin selama ini memang kita sebagai warga negara-lah yang salah, karena sudah mengkritik. Tapi, adakah cara lain? Monggo

Sumber: