Ferry Irwandi, OKP, dan Indonesia yang Anti-Kritik

--
Tulisan ini tidak bermaksud membicarakan Ferry Irwandi sebagai pribadi. Ia tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, sama seperti siapa pun yang memilih tampil di ruang publik. Tetapi dalam konteks beberapa hari terakhir, sulit menutup mata bahwa Ferry dengan Malaka Project-nya telah muncul sebagai salah satu speaker yang cukup menonjol dalam percaturan gerakan sosial. Fenomenanya tidak bisa dipisahkan dari keringnya wacana kritis yang semestinya menjadi lahan subur organisasi mahasiswa dan pemuda.
Ferry Irwandi menampilkan diri sebagai anak muda dengan gaya akademis, tetapi sekaligus aktif dalam aktivitas yang menyerupai tradisi aktivisme mahasiswa. Kontennya sering mengusik cara berpikir publik, menggoyang kenyamanan mainstream, dan memancing perdebatan. Masalahnya, ruang semacam itu dahulu ditempati organisasi mahasiswa. Diskusi intelektual, debat panjang hingga larut malam, atau kajian ulang terhadap teori dan isu aktual, semua itu dulu disebut diskursus. Ia bukan sekadar ritual kepemudaan, melainkan metode untuk melatih nalar kritis dan keberanian menyuarakan pendapat. Kini, ketika forum-forum diskursus di organisasi mahasiswa banyak bergeser menjadi seremoni belaka, justru figur seperti Ferry yang menghidupkannya kembali—meski lewat kanal digital, bukan podium organisasi.
Dari Diskursus ke Gerakan
Dalam tradisi gerakan mahasiswa, diskursus hanyalah langkah awal. Diskusi mesti ditindaklanjuti menjadi gerakan nyata, entah berupa agitasi, propaganda isu, hingga demonstrasi di jalanan. Itulah sebabnya organisasi mahasiswa dan pemuda dulu begitu berpengaruh: mereka bukan sekadar ruang belajar teori, tetapi dapur penggodokan gerakan sosial.
Sayangnya, hari ini kita mesti bertanya dengan jujur: seberapa kuat organisasi kemahasiswaan dan pemuda (OKP) melaksanakan fungsi itu? Ya, mereka masih eksis, masih mencatatkan kegiatan, masih berbicara atas nama generasi muda. Namun apakah gaungnya cukup kuat untuk menjadi arus penentu dalam wacana publik? Seringkali jawabannya adalah tidak.
Dalam kevakuman itulah Ferry muncul, mengisi kekosongan yang ditinggalkan. Menjelma seperti aktivis mahasiswa, meski tanpa embel-embel organisasi formal. Ironi pahitnya: seorang individu mampu menyalakan api diskursus yang gagal dijaga oleh barisan organisasi besar.
Bebas Tapi Tidak Bebas
Apa yang dilakukan Ferry sebetulnya adalah pekerjaan yang sejak dulu dilakukan oleh OKP. Mengkanal, mengurai masalah, menjadi suatu isu sosial. Menjadi speaker isu sosial demikian bukanlah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Sejak awal kita memilih demokrasi. Konsekuensinya, setiap warga negara berhak menyampaikan kritik terhadap institusi dan kebijakan publik. Batasnya hanya satu: kritik tidak boleh berubah menjadi serangan terhadap kehormatan pribadi.
Konstitusi Negara (UUD 1945): Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: secara eksplisit menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Ini adalah landasan hukum tertinggi yang memberikan jaminan fundamental bagi hak-hak tersebut di Indonesia. Pada Undang-Undang Pelaksananya: Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum: mengatur tata cara, syarat, dan batasan penyampaian pendapat secara terbuka, memastikan bahwa kebebasan ini dilaksanakan secara bebas dan bertanggung jawab. Disinilah mulai ambigu sekaligus paradoksnya. Bebas tapi disuruh bertanggung jawab. Mestinya, pilih salah satu saja, bebas atau bertanggung jawab saja.
Sumber: