Prodi SPI UIN RIL Gelar Sarasehan dan Launching Video Tour Digitalisasi Cagar Budaya Nasional Lampung
Prodi SPI UIN RIL Gelar Sarasehan dan Launching Video Tour Digitalisasi Cagar Budaya Nasional Lampung--
Sementara itu, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII Bengkulu–Lampung yang diwakili oleh Deni Ardiansyah menyampaikan bahwa cagar budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan sumber pengetahuan, identitas, dan jati diri bangsa.
Tantangan pelestarian cagar budaya saat ini, menurutnya, tidak hanya pada aspek fisik, tetapi juga bagaimana cagar budaya dapat diakses, dipahami, dimanfaatkan, dan berguna bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk generasi muda, penyandang disabilitas, serta masyarakat yang secara geografis tidak dapat mengunjungi lokasi secara langsung.
“Di sinilah peran digitalisasi menjadi sangat strategis. Teknologi digital memungkinkan cagar budaya hadir melampaui batas ruang melalui dokumentasi digital tour, arsip daring, hingga media pembelajaran interaktif,” jelasnya.
Digitalisasi, tegasnya, bukan untuk menggantikan nilai autentik cagar budaya, melainkan untuk memperluas jangkauan pemanfaatannya.
Usai peluncuran video tour, kegiatan dilanjutkan dengan sarasehan pemaparan materi oleh narasumber I Made Giri Gunade selaku arkeolog dan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Provinsi Lampung, serta Dr. Abd. Rahman Hamid selaku Ketua Prodi SPI. Sarasehan dipandu oleh moderator Agus Mahfudin Setiawan, M.Hum.
Dalam pemaparannya, I Made Giri Gunade menjelaskan bahwa pelestarian cagar budaya mencakup tiga aspek utama, yaitu perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Ia menjelaskan bahwa cagar budaya memiliki lima bentuk, yakni benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya.
Cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan atau material, baik yang berada di darat, di laut, maupun di dalam air, serta memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Nilai penting inilah yang menentukan status cagar budaya, baik di tingkat kabupaten, provinsi, nasional, hingga warisan dunia.
Made menegaskan bahwa status cagar budaya harus ditetapkan secara resmi, karena tanpa penetapan, objek tersebut belum dapat dikategorikan sebagai cagar budaya.
Sementara itu, Dr. Abd. Rahman Hamid menekankan pentingnya integrasi cagar budaya dalam pembelajaran sejarah sebagai bagian dari implementasi kurikulum Outcome-Based Education (OBE), khususnya dalam pengembangan dan pembuatan media pembelajaran sejarah. Menurutnya, pembelajaran sejarah tidak cukup hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi juga melalui pembelajaran lapangan agar mahasiswa memperoleh pengalaman belajar yang lebih efektif dan bermakna.
Sumber: