ICMI dan Bencana yang Kita Ciptakan Sendiri

ICMI dan Bencana yang Kita Ciptakan Sendiri

Tony Eka Chandra. Foto Ist--

 

Oleh: Tony Eka Candra

Setiap kali hujan deras mengguyur nusantara, kita langsung menyalahkan “perubahan iklim global”. Padahal kamera drone dan laporan KLHK menunjukkan hal yang jauh lebih dekat dan memalukan: ribuan hektare hutan primer sudah lenyap diganti tambang ilegal dan kebun sawit tanpa izin, lereng-lereng gunung dikeruk tanpa reklamasi, rehabilitasi dan reboisasi, begitu juga dengan sungai-sungai menjadi kubangan lumpur cokelat. Banjir dan longsor yang menewaskan ratusan orang setiap tahun bukan semata “bencana alam”, melainkan bencana akibat keserakahan manusia yang kita biarkan.

Di sinilah saya bertanya: mana suara ICMI?

Organisasi yang mengklaim mewadahi puluhan ribu cendekiawan Muslim ini punya segalanya untuk menjadi game changer: jaringan sampai ke desa-desa, akses ke masjid dan pesantren, hubungan erat dengan pemerintah, dan—yang terpenting—legitimasi moral dari Al-Qur’an yang tegas melarang kerusakan di bumi (QS ar-Rum: 41). Tapi dalam beberapa tahun terakhir, ICMI mungkin lebih sering terdengar saat peluncuran buku atau bedah visi 2045 ketimbang saat gunung-gunung kita diratakan oleh eksavator ilegal.

Padahal potensinya luar biasa.

Bayangkan kalau ICMI serius:

1. Membentuk “Satgas Hijau ICMI” yang terdiri dari ahli geologi, hukum lingkungan, dan ulama sekaligus. Satgas ini bisa turun langsung ke daerah rawan untuk memetakan tambang ilegal dan illegal logging berbasis citra satelit, lalu menyerahkan data itu ke KPK dan KLHK dengan kop surat ICMI Pusat.

2. Mengeluarkan fatwa lingkungan nasional. Bukan sekadar seruan moral biasa, tapi fatwa yang diteken Majelis Ulama Indonesia bersama ICMI, yang menyatakan bahwa “mengambil hasil tambang atau menebang hutan tanpa izin negara yang sah hukumnya haram karena merusak mahluk Allah dan membahayakan nyawa kaum muslimin”. Satu fatwa seperti ini bisa membuat ribuan pekerja tambang ilegal berpikir ulang—karena takut dosa, bukan hanya takut razia.

3. Menggerakkan jaringan masjid dan pesantren untuk “Jumat Hijau”. Setiap khatib Jumat membaca khutbah standar 7 menit tentang larangan merusak lingkungan (sudah disiapkan ICMI pusat), disambung doa bersama untuk korban banjir. Dalam sebulan, ratusan ribu masjid di Indonesia akan menggema dengan pesan yang sama. Tak ada partai politik atau LSM mana pun yang punya jangkauan segila ini.

4. Menggandeng kampus-kampus Muhammadiyah dan NU (yang banyak anggotanya adalah pengurus ICMI) untuk program “Adopsi Daerah Aliran Sungai”. Mahasiswa KKN wajib memantau illegal logging di hulu, melapor lewat aplikasi, dan hasilnya dipresentasikan di sidang terbuka ICMI wilayah. Ini bukan lagi sekadar kuliah lapangan, tapi jihad lingkungan.

5. Mendesak Muhammadiyah dan NU untuk menolak atau mengembalikan hak izin tambang yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Aturan tersebut membuka peluang bagi organisasi kemasyarakatan keagamaan untuk mengelola wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) di bekas konsesi PKP2B, yang berpotensi memperburuk kerusakan lingkungan akibat illegal mining dan bencana terkait.

Kenapa ini semua belum terjadi?

Apakah karena ICMI terlalu sibuk menjaga hubungan baik dengan penguasa dan pengusaha—banyak di antaranya apakah mungkin justru aktor di balik tambang dan kebun ilegal? Karena lebih nyaman bicara “moderasi beragama” di hotel berbintang ketimbang turun ke lumpur tambang ilegal atau hutan lindung yang jadi kebun sawit. Apakah karena takut disebut “anti-investasi” atau “menghambat pembangunan”?

Sumber: