JAKARTA, LAMPUNGNEWSPAPER – Jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang paling banyak ditemukan melakukan pelanggaran netralitas Pilkada adalah jabatan fungsional. Dimana pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh pejabat fungsional ini pada Pilkada serentak tahun 2020, 70% nya di lakukan oleh kelompok jabatan Guru dan Dosen.
Sementara 30% lainnya dilakukan oleh jabatan fungsional lainnya. Dengan demikian, dua jenis jabatan ini (guru dan dosen), dinilai sangat rentan melakukan pelanggaran serupa pada Pilkada Serentak 2024 mendatang.
Besaran jumlah pelanggaran tersebut diungkapkan oleh Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Pengawasan Bidang Penerapan Nilai Dasar, Kode Etik, Kode Perilaku, dan Netralitas ASN, Arie Budhiman, saat membacakan naskah keynote speech atau pembicara kunci Ketua KASN Agus Pramusinto dalam webinar netralitas ASN bertema Mencegah Politisasi Sekolah dan Kampus dalam Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024 dipantau secara daring di Jakarta, Kamis (27/7).
Untuk jenis pelanggaran yang dilakukan, media sosial menjadi menjadi sarana yang kerap dipergunakan guru dan dosen untuk mensosialisasikan pasangan calon yang didukungnya.
Belum lagi bentuk pelanggaran lainnya seperti kegiatan yang bersifat mengarahkan untuk memilih calon yang didukung, foto bersama pasangan calon, bahkan ada yang mengikuti kegiatan kampanye, baik itu dengan mengenakan atribut partai, atribut PNS maupun tanpa atribut sama sekali.
"Kelompok jabatan fungsional guru dan dosen sangat rentan turut serta dalam kancah politik praktis,” kata Arie
Secara rinci dijabarkannya, jenis pelanggaran netralitas yang banyak dilakukan kelompok guru dan dosen 34,9 persen berupa kampanye/sosialisasi pada media sosial, 27,8 persen dengan mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan, 14,5 persen foto bersama bakal calon/pasangan calon dan 4,5 persen menjadi peserta kampanye dengan memakai atribut partai/atribut PNS/tanpa atribut.
Tak hanya itu, pejabat struktural dalam dua bidang jabatan ini (guru dan dosen), seperti Kepala Sekolah, memiliki kecenderungan untuk berpihak dengan memobilisasi dukungan secara terstruktur.
“KASN juga menemukan bahwa pelanggaran di kalangan dunia pendidikan selain dilakukan secara personal, juga memiliki kecenderungan bersifat terstruktur. Di mana, mobilisasi dukungan dilakukan oleh pejabat struktural atau kepala sekolah,” paparnya.
Menurutnya, guru dan dosen merupakan pasar yang sangat potensial untuk kepentingan pendulangan suara dalam kontestasi politik, sebab berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah guru dan dosen pada tahun ajaran 2022/2023 sebanyak 4.559.390 orang.
Terdapat dua faktor yang mendorong guru dan dosen melakukan pelanggaran netralitas, yakni faktor ikatan persaudaraan antara guru dan dosen dengan calon peserta pemilu dan pemilihan. Lalu, adanya kepentingan pragmatis pada sebagian kalangan guru untuk berpindah ke jabatan struktural tertentu.
“Sementara di kalangan dosen, ada keinginan untuk mendapatkan posisi pada struktural kampus atau jabatan lain yang tersedia di luar kampus, baik pada struktur pemerintahan maupun swasta,” ujarnya.
Untuk itu, dia berharap para dosen tidak terseret menjadi tim sukses pemenangan politisi tertentu. Sebaliknya, menjadikan keahlian yang dimilikinya sebagai sumber substansi gagasan dan pijakan kajian bagi para politisi, sehingga siapapun kontestan yang menang maka substansi gagasan akan diterjemahkan menjadi kebijakan publik.
“Para tenaga pendidik baik guru atau dosen tidak dibenarkan menjadi bagian dari dewan pakar atau tim pemenangan peserta pemilu dan pemilihan,” kata dia.
Turut hadir sebagai narasumber dalam kegiatan webinar, antara lain, Inspektur IV Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Subiyantoro; Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Mas’ud; dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati. (adm