Saya bikin drama dalam tulisan bahwa Pak Hermawan yang hebat itu dulu pindah-pindah kampus dan bukan tergolong pengejar nilai. Menulisnya agak takut-takut karena Pak Dahlan bersahabat dengan Pak Hermawan.
Seusai tulisan dimuat, Pak Dahlan mendatangi meja saya sambil membawa koran. Saya pasrah. Ternyata yang terjadi di luar prediksi, ”Wah, tulisanmu bagus. Begini kalau cari angle.” Satu kalimat. Setelah itu, Pak Dahlan pergi. Saya hanya sempat berucap terima kasih.
Momen kok tega itu sering saya alami di masa saya sebentar menjadi wartawan dari akhir 1999 hingga Februari 2002. Semua proses saya ikuti. Menjadi wartawan adalah dream job buat saya yang aktif menjadi wartawan kampus di pers mahasiswa, Indikator, FE, Universitas Brawijaya.
Namun, seperti cinta pada pandangan pertama atau nama kekasih yang tertulis di skripsi, terkadang malah umurnya tidak panjang. Termasuk karier saya sebagai wartawan. Pada 2002 saya mengundurkan diri dari tempat bekerja yang saya cintai.
Meski begitu, kagum dan hormat saya kepada Jawa Pos dan Pak Dahlan Iskan tak pernah luntur. Betapa banyak yang saya pelajari dari Pak Dahlan, walau saya yakin baru secuil, sangat berdampak pada hidup dan karier saya.
Multitasking, disiplin, put all effort, menjadi sosok pembeda, orientasi hasil, tepat waktu, rapat harus efisien, dan selalu coba thinking out of the box.
Pun, setiap saya mengalami kesulitan, muram, dan kehilangan semangat kerja karena melihat ekonomi atau nasib industri yang kelam, kalimat Pak Dahlan selalu menyemangati, ”Kok, mau kondisi ekonomi bagus atau jelek, kita tetap harus kerja keras. Mau 1 dolar setara 10 ribu atau 20 ribu, pilihan kita hanya kerja keras.”
Saat ini kalimat Pak Dahlan mungkin dianggap toxic oleh sebagian masyarakat. Dianggap sebagai bagian dari hustle culture alias kerja keras bagai kuda dengan mengesampingkan hal-hal lain dalam kehidupan. Tapi, bagi saya saat itu sampai detik ini, kalimat-kalimat pendek Pak Dahlan itu membuat saya bangkit berkali-kali.