Sejumlah pabrik singkong memang ada yang seolah-olah patuh terhadap surat edaran gubernur.
Memang ada yang membeli dengan harga Rp1.350 per 1 kilo. Namun, rafaksi terendah hanya 35.
Kalaupun ada dengan rafaksi 30 persen jumlahnya hanya bisa dihitung dengan jari.
Pabrik beralasan kadar aci singkong tidak memenuhi standar. Minim sekali. Bahkan ada yang menetapkan standar rafaksi hingga di atas 40 persen. Masalahnya adalah pabrik membatasi pembelian per harinya dengan berbagai alasan, mulai 150-250 ton per hari.
Di antaranya ketidakmampuan gudang penampung dan terbatasnya produksi tepung.
Sehingga, terjadi banyak antrean truk di pabrik-pabrik. Dan petani mesti menunggu hingga 2 hari sampai singkongnya dibeli pabrik.
Jika kondisi menunggu ini terjadi, maka petani singkong mengalami dua kerugian.
Pertama meningkatnya biaya jasa sopir angkutan. Kedua, terjadinya penyusutan berat dan kualitas singkong.
Keadaan itu tentu saja tidak menguntungkan bagi petani. Sehingga petani lebih memilih menjual ke lapak-lapak yang ada.
Menjual ke lapak-lapak tentu dengan harga yang jauh lebih murah. Bahkan hanya dihargai maksimal Rp1.050 dengan rafaksi rata rata hanya 33-35 persen.
Ironisnya berdasarkan hasil investigasi Radar Lampung Grup, pelapak itu juga bekerjasama dengan pabrikan.
Bahkan, di antaranya adalah orang orang pabrik itu sendiri yang membuat lapak demi memperoleh singkong dalam jumlah banyak.
Selain itu, tujuannya tentu untuk mendapatkan harga singkong yang jauh lebih murah.
Seperti yang diungkapkan Yusuf, Ramli, Sepriyadi, dan Zakariah, warga Tulang Bawang Barat. Mereka ini memiki sekitar 12 hektare lahan singkong.
Pada panen minggu lalu, dari 12 Ha itu mereka hanya mendapatkan uang lebih dari selisih biaya dan pendapatan hanya Rp2,9 juta keseluruhan.
“Jadi per 1 haktare tidak sampai Rp300 ribu. Kalau dihitung dari biaya transportasi untuk sekadar memantau kebun, rasanya saya tidak dapat apa-apa. Bahkan rugi untuk investasi selama 11 bulan,” ujar Yusuf kepada Radar Lampung (Grup Lampungnewspaper.com)