BNPB Dinilai Lamban, Mahasiswa USK Desak Presiden Bentuk Tim Khusus Bencana Sumatera
Ketua Himpunan Mahasiswa Budidaya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala (USK) Akhdan Mamduh.Foto Ist--
BANDAACEH,LAMPUNGNEWSPAPER.COM---Banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara dalam beberapa waktu terakhir kembali menyingkap persoalan klasik penanganan bencana di Indonesia: negara lamban, koordinasi lemah, dan kepemimpinan krisis yang tidak tegas.
Bencana yang terjadi hampir bersamaan di satu kawasan besar seperti Sumatera semestinya diperlakukan sebagai krisis regional, bukan sekadar akumulasi bencana daerah yang ditangani secara terpisah.
Di Aceh, banjir dan longsor mengisolir sejumlah wilayah, memutus akses jalan, distribusi logistik, serta layanan dasar masyarakat.
Di Sumatera Barat, bencana serupa menelan korban jiwa dan merusak permukiman warga. Sementara di Sumatera Utara, banjir dan longsor kembali terjadi di wilayah-wilayah rawan yang seharusnya telah memiliki sistem mitigasi yang lebih matang.
Namun fakta di lapangan menunjukkan respons yang lamban dan ketergantungan penuh pada kapasitas pemerintah daerah yang terbatas.
Kondisi ini memunculkan kritik tajam terhadap Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penanganan bencana nasional.
Lemahnya koordinasi lintas daerah, tersendatnya distribusi bantuan, serta ketidaksiapan menghadapi bencana beruntun dalam satu kawasan menunjukkan persoalan serius dalam manajemen krisis. Dalam situasi darurat, keterlambatan hitungan jam bahkan menit dapat menentukan hidup dan mati warga terdampak.
Persoalan tidak berhenti pada fase tanggap darurat. Pascabanjir dan longsor, masyarakat di sejumlah daerah terisolir di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara justru menghadapi krisis lanjutan berupa kelangkaan LPG, bahan bakar minyak, serta bahan pokok.
Ketika akses terputus dan distribusi terganggu, negara kembali terlihat absen dalam menjamin kebutuhan dasar rakyatnya. Situasi ini mempertegas bahwa penanganan bencana di Sumatera tidak bisa lagi dilakukan secara parsial, sektoral, dan reaktif.
Ketua Himpunan Mahasiswa Budidaya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala (USK), Akhdan Mamduh, menilai Presiden Republik Indonesia harus segera mengambil langkah politik yang tegas dengan membentuk Tim Khusus Koordinasi Bencana Sumatera. Tim ini dinilai penting untuk menjawab kegagalan koordinasi dan lambannya respons negara dalam menghadapi bencana berskala regional.
“Tim khusus tersebut harus memiliki kewenangan lintas kementerian dan lembaga, serta mampu bertindak cepat tanpa terhambat birokrasi yang berbelit. Negara tidak boleh terus menyerahkan beban krisis kepada daerah yang kapasitasnya terbatas,” tegas Akhdan.
Menurutnya, tim khusus itu harus diberi mandat yang jelas: mengoordinasikan penanganan darurat lintas provinsi, memastikan distribusi logistik berjalan lancar, serta mengendalikan pasokan LPG, BBM, dan bahan pokok ke wilayah terdampak dan terisolir. Tanpa langkah terobosan, masyarakat akan terus menjadi korban berlapis—terdampak bencana sekaligus kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pembentukan tim khusus, lanjut Akhdan, bukan sekadar solusi teknis, melainkan sinyal politik bahwa negara benar-benar hadir. Jika BNPB belum mampu bekerja efektif dalam situasi krisis regional, maka intervensi langsung Presiden adalah langkah yang sah, konstitusional, dan mendesak. Keselamatan rakyat harus ditempatkan di atas kepentingan institusional dan ego sektoral.
Banjir dan longsor yang berulang di Sumatera seharusnya menjadi peringatan keras. Tanpa pembenahan serius dan kepemimpinan yang kuat dalam penanganan bencana, tragedi serupa hanya akan terus berulang. Tim Khusus Koordinasi Bencana Sumatera bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak—sekaligus ujian apakah negara benar-benar berpihak pada rakyatnya, atau hanya hadir ketika kamera media menyala. (Akhdan Mamduh)
Sumber: