Secangkir Kopi Sebungkus Rokok Dari Sarjana Untuk Ayah
Lampungnewspaper.com - Kurangnya jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) didaerah membuat adanya kebijakan rekrutmen tentang Tenaga Kerja Sukarela (TKS) honorer. Hal tersebut tentu menjadi lapangan pekerjaan baru bagi para pencari kerja tidak terkecuali lulusan sarjana. Sore itu, sang ayah sebut saja Abdullah yang dengan susah payah menghantarkan anaknya bersekolah kejenjang pendidikan akademis perguruan tinggi strata satu, tampak sedih dan sekaligus terharu, betapa tidak anaknya yang baru saja bergelar sarjana S1 dari Unila dengan indek prestasi akademik sangat memuaskan itu, kini tengah bekerja sebagai TKS bagian operator pada salah satu dinas di kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) menghantarkan segelas kopi dan membelikan sebungkus rokok untuk sang ayah sebagai tanda dia baru saja gajian dari kantornya, Kamis (15/2020). \"Kopi pak, ini kanjeng belikan rokok buat Bapak, kanjeng baru saja gajian untuk pertama kalinya tadi pak Rp250.000/bulan,\"tutur Kanjeng sarjana Peternakan Unila. Lebih lanjut Kanjeng mengucapkan terimakasih kepada sang ayah karena telah menyekolahkannya sampai sarjana dengan susah payah. \"Terimakasih ya pak, bapak sudah menjadikan kanjeng sarjana, meskipun jujur kanjeng kecewa ternyata gelar sarjana yang diraih susah payah itu hanya dihargai Rp250.000 saja perbulan ya pak,\"ungkapnya. Dikutip dari Ekspresionline. com, dihari sarjana nasional yang lalu, lagu Sarjana Muda dari Iwan Fals bisa menjadi retropeksi. Untuk apa gelar kesarjanaan mesti diperjuangkan dan adakah masa depan yang terang benderang dibaliknya? Jika hari ini masih ada yang percaya bahwa menjadi sarjana merupakan jalan termudah untuk mendapatkan pekerjaan, lebih-lebih yang mapan, cobalah dengarkan dan renungkan beberapa petikan lirik lagu tersebut dengan saksama. Engkau sarjana muda Resah mencari kerja Mengandalkan ijazahmu Empat tahun lamanya Bergelut dengan buku Tuk jaminan masa depan Iwan Fals, melalui Sarjana Muda-nya, sudah jauh-jauh waktu sejak dekade 80-an mengingatkan kita bahwa memiliki gelar sarjana tak menjamin bakal mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Kutipan lirik lagu di atas cukup jelas menceritakan bagaimana ijazah, selembar kertas yang dianggap sakti, dicari-cari banyak orang, dan butuh jungkir balik di bangku perkuliahan untuk mendapatkannya, ternyata memang tak selalu menjamin masa depan. Banyak hal yang mesti dipertaruhkan untuk sebuah masa depan, salah satunya mengadu nasib melalui dunia perkuliahan. Bukan hanya uang, tapi juga usia, tenaga, dan perasaan yang mesti kita perjudikan di sana. Jika menang, kita dapat menggapai cita-cita dengan bekal gelar sarjana tersebut. Tetapi, jika kekalahan yang menimpa, semua hanya akan menjadi sebuah pengorbanan. Sayangnya, seperti yang kita tahu, bahwa dalam pertaruhan tersebut kecil kemungkinannya untuk dapat dimenangkan. Sejak sekitar tiga puluh tahun lalu—ketika lagu Sarjana Muda dirilis—sampai hari ini, keadaan tak jauh berbeda. Kalau tidak percaya, mari kita berbicara data. Apakah Sarjana Muda hari ini masih relevan, bukan hanya untuk didengarkan atau dinyanyikan sebagai hiburan, tapi juga untuk kita refleksikan. Melansir The Conversation yang mengutip data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tahun ini mengalami peningkatan mencapai 9,2% atau hampir 13 juta orang. Sementara, laporan Tirto yang juga mengutip data Bappenas, persentase pengangguran tersebut melonjak signifikan dari tahun sebelumnya yang berkisar 5,28%. Dalam satu dekade terakhir, angka pengangguran tersebut menjadi yang tertinggi di tahun ini. Bappenas memperkirakan di tahun depan angka pengangguran bisa menyentuh 12,7 juta orang. Salah satu penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah Covid-19. Tahun ini adalah tahun di mana kita telah mengalami banyak kehilangan. Pandemi Covid-19 selain telah menyebabkan ribuan nyawa melayang yang meninggalkan kesedihan di setiap keluarga korban, juga ada jutaan orang yang kehilangan pekerjaan. Sementara itu, subsidi dari pemerintah baik makanan atau obat-obatan masih terbilang minim. Pilihannya adalah mati karena virus atau kelaparan. Menjadi sarjana di tahun ini adalah sebuah kesialan, sudah terjatuh masih harus tertimpa tangga. Membludaknya tenaga kerja angkatan muda dan berkurangnya lapangan pekerjaan lantaran banyak perusahaan yang gulung tikar, semakin memperketat persaingan mendapatkan pekerjaan bagi lulusan sarjana. Infografik oleh Sabine Fasawwa Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah, dilansir dari Antara,menyebutkan bahwa terdapat sekitar 2,25 juta angkatan kerja baru setiap tahunnya di Indonesia. Sementara, Indonesia masih mempunyai tanggungan 7 juta lebih pengangguran, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Selaras dengan data dari Kemenaker, Juni lalu, Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO) mengumumkan angka pengangguranmuda (15-24 tahun) Indonesia menempati posisi tertinggi kedua se-Asia Tenggara (17,6%) di bawah Brunei Darussalam (29,9%). Persentase tinggi tersebut cukup stagnan dalam dua puluh tahun terakhir, sejak krisis ekonomi di akhir 90an. Tahun 2019, BPS yang dikutip oleh Katadata, merilis data pengangguran berdasarkan jenjang pendidikan. Data tersebut menunjukan adanya peningkatan pengangguran bagi lulusan universitas. Sejak 2017-2019, angka pengangguran untuk lulusan universitas meningkat sebanyak 25%. Persentase tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan lulusan jenjang pendidikan lainnya. Angka pengangguran lulusan diploma naik sebesar 8,2%, sedangkan lulusan jenjang pendidikan lainya mengalami penurunan.Hal tersebut selaras dengan angka penyerapan tenaga kerja berdasarkan jenjang pendidikan yang dikeluarkan BPS pada Februari lalu. Dengan persentase sebesar 10,23%, lulusan universitas menempati urutan kedua terendah, di bawah lulusan diploma dengan 2,79%. Sedangkan, penyerapan tenaga kerja hari ini masih didominasi oleh lulusan SD ke bawah dengan persentase sebesar 38,89%. Urutan tersebut, tidak berubah sejak tiga tahun belakangan. Tembang Sarjana Muda Iwan Fals sejak 39 tahun lalu ternyata menunjukan kerelevanannya hingga sekarang. Jika rasa takut dan cemas dengan nasib pekerjaan di masa depan datang menghantui, kendatipun gelar sarjana sudah didapatkan atau setidaknya hampir di genggaman, tenang saja, data-data di atas menunjukan bahwa kalian tidaklah sendirian. Itulah nasib menjadi seorang sarjana, fase di mana kita hanya menunggu pengangguran datang dengan begitu mesranya. Sementara, data-data yang berkeliaran ihwal pengangguran hanyalah angka statistika semata.(SANUR)
Sumber: