Petani Singkong Lampung Menjerit, Harga Singkong Anjlok

Petani Singkong Lampung Menjerit, Harga Singkong Anjlok

Ilustrasi petani singkong merugi. Foto Gemini Ai--

Pada panen minggu lalu, dari 12 Ha itu mereka hanya mendapatkan uang lebih dari selisih biaya dan pendapatan hanya Rp2,9 juta keseluruhan.

“Jadi per 1 haktare tidak sampai Rp300 ribu. Kalau dihitung dari biaya transportasi untuk sekadar memantau kebun, rasanya saya tidak dapat apa-apa. Bahkan rugi untuk investasi selama 11 bulan,” ujar Yusuf kepada Radar Lampung (Grup Lampungnewspaper.com)

Radar Lampung mencoba mengambil harga terbaik untuk petani, yakni Rp 1.350 perkilo dengan rafaksi 35 persen.

Maka harga yang diterima petani dari pabrik adalah Rp 877. Dikurangi biaya cabut dan transportasi Rp 210. Berarti hanya tersisa Rp 667. 

Selain itu petani singkong juga harus menanggung biaya lain lain. 

Seperti  biaya makan dan minum serta rokok sopir, biaya satpam, biaya bongkar muat, biaya gorengan pekerja dan lain-lain. 

Jumlah ini bisa mencapai Rp 350-Rp 400 ribu per 1 truk. Jika dihitung total biaya biaya ini bisa mencapai Rp75 ribu per ton. 

Bahkan, di antaranya adalah orang orang pabrik itu sendiri yang membuat lapak demi memperoleh singkong dalam jumlah banyak. 

Selain itu, tujuannya tentu untuk mendapatkan harga singkong yang jauh lebih murah.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lampung mengklaim telah melakukan pengawasan rutin. Namun, kendala keterbatasan personel membuat pengawasan di lapangan tidak optimal. Hingga pertengahan Juni, belum ada tindakan tegas terhadap pelanggaran yang dilaporkan petani secara terbuka.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD Lampung, Mikdar Ilyas, kembali mendesak pemerintah pusat untuk menetapkan harga dasar dan standar mutu singkong secara nasional. “Harga tidak boleh lagi jadi permainan lapak. Harus ada Perpres agar perlindungan petani tidak hanya bersifat lokal,” ujarnya.

Pemerintah Provinsi Lampung sebelumnya telah mengeluarkan surat edaran pada 5 Mei 2025 yang menegaskan larangan pengukuran berdasarkan kadar pati dan menghapus sistem potong tidak transparan. Namun realita di lapangan menunjukkan penerapan yang masih lemah.

Petani berharap pemerintah tidak hanya sekadar mengimbau, tetapi menindak tegas pabrik dan lapak yang melanggar. Mereka juga mendorong keterlibatan aktif aparat penegak hukum, Dinas Perdagangan, dan Dinas Perkebunan untuk memverifikasi sistem timbang dan nota transaksi.

Sumber: