Peta Jalan Pendidikan Islam dan Desain Masa Depan Peradaban
Peta Jalan Pendidikan Islam dan Desain Masa Depan Peradaban--
Kurikulum semacam ini diharapkan mampu membentuk peserta didik yang tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan sosial.
Pendidikan tidak berhenti pada pencapaian akademik, tetapi juga menumbuhkan kepekaan terhadap ketidakadilan, penderitaan sosial, dan persoalan kemanusiaan.
Ketiga, Transformasi Paradigma Teologi dan Pendidikan. Menteri Agama menekankan pentingnya kurikulum yang bersifat transformatif, yaitu kurikulum yang mendorong perubahan cara pandang teologi dan praktik pendidikan Islam.
Transformasi ini mencakup pergeseran dari teologi yang terlalu maskulin menuju keseimbangan maskulin–feminin, dari orientasi antroposentris menuju perspektif ekoteologis yang menempatkan manusia, alam, dan Tuhan dalam relasi yang harmonis. Selain itu, pendekatan atomistik perlu digantikan dengan cara pandang holistik, serta religiositas yang sempit dan eksklusif diarahkan menuju religious-mindedness, yakni agama sebagai kompas moral yang membimbing kehidupan secara terbuka, inklusif, dan membebaskan. Maka dari itu,pendidikan Islam tidak hanya mengajarkan doktrin, tetapi membentuk cara berpikir yang reflektif dan transformatif.
Keempat, Dimensi Filosofis Kurikulum Berbasis Cinta. Kurikulum berbasis cinta memiliki fondasi filosofis yang kuat karena bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Di dalamnya terkandung dorongan untuk berbuat kebaikan, empati terhadap penderitaan dan keterbelakangan, pembentukan ikatan sosial yang hangat, serta kesiapan untuk berkorban demi kepentingan bersama. Kurikulum ini juga menumbuhkan sikap memaafkan, solidaritas, dan semangat membangun komunitas belajar yang inklusif.
Pendidikan yang kehilangan dimensi cinta berisiko melahirkan individu yang unggul secara teknis, tetapi miskin kepekaan moral dan sosial, sehingga gagal membentuk manusia yang utuh dan berkepribadian matang.
Kelima, Kejelasan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pendidikan. Menteri Agama menekankan bahwa pendidikan Islam harus dibangun di atas landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang jelas.
Secara ontologis, pendidikan perlu menjawab hakikat realitas dan manusia yang dipelajari. Secara epistemologis, pendidikan harus menjelaskan bagaimana pengetahuan diperoleh, diuji, dan dipertanggungjawabkan.
Secara aksiologis, pendidikan harus memastikan bahwa ilmu digunakan untuk tujuan yang bernilai dan bermakna. Tanpa kejelasan ketiga landasan ini, pendidikan Islam berisiko kehilangan arah, terjebak pada rutinitas teknis, dan terlepas dari tujuan moral yang seharusnya diemban.
Keenam, Kerja Intelektual dan Implementatif Secara Simultan. Pengembangan pendidikan Islam tidak cukup dilakukan pada tataran gagasan, tetapi harus berjalan seiring dengan praktik nyata dalam kehidupan sosial.
Oleh karena itu, kerja intelektual-konseptual harus berjalan beriringan dengan kerja implementatif. Dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum perlu diakhiri, sebagaimana tradisi keilmuan Islam klasik yang memadukan ilmu keislaman dan ilmu pengetahuan secara harmonis.
Pendidikan Islam masa depan dituntut relevan secara intelektual sekaligus berdampak secara sosial, sehingga mampu menjawab kebutuhan zaman tanpa kehilangan orientasi nilai.
Sebagai penutup, seluruh gagasan tentang Peta Jalan Pendidikan Islam menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar instrumen administratif atau teknis, melainkan proyek peradaban yang menuntut arah nilai, kedalaman makna, dan keberanian transformasi.
Kurikulum sebagai desain masa depan umat, pendekatan berbasis cinta, transformasi paradigma teologi, kejelasan ontologis, epistemologis, aksiologis, hingga tuntutan kerja intelektual yang berpadu dengan praksis sosial, semuanya bermuara pada satu tujuan: melahirkan manusia berilmu, berakhlak, dan bertanggung jawab terhadap kemanusiaan.
Sumber: