'Panggilan Jiwa' Malam Panjang yang Tidak Pernah Terekam

'Panggilan Jiwa' Malam Panjang yang Tidak Pernah Terekam

--

Minggu pagi nanti, 21 Desember 2025, Pemerintah Kota Metro bersama PT Bogasari Flour Mills dan GOW Kota Metro menggelar acara Merayakan Perempuan Melalui Gerak dan Karya, Road Festival Bogasari, dalam momentum Hari Ibu. Di balik kemeriahan acara, Rafieq dan Nidia membuka ruang produktif bagi penyandang disabilitas.

“Mereka ingin bekerja dan hidup mandiri. Banyak yang bahkan tak mempersoalkan upah, asal cukup untuk makan. Itu yang menggerakkan kami, menjadi semacam panggilan jiwa,” katanya.

Demokrasi menjanjikan kemanusiaan yang lebih adil. Ingatan kolektif tentang doktrin pemurnian ras dan perlakuan terhadap penyandang disabilitas oleh fasisme menjadi pengingat keras. Pandangan yang meremehkan penyandang disabilitas, termasuk penolakan memberi mereka ruang kerja, tak ubahnya artefak fasisme yang hidup dalam wajah modern. Menjadi semacam predator. Ancaman dalam ekosistem demokrasi.

Ia menegaskan akan memperjuangkan agar perusahaan yang beroperasi di Kota Metro membuka kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas. “Semua dimulai dari acara ini, dan acara-acara berikutnya.”

Pukul 22.15 WIB. Rekan Rafieq mengajak singgah melepas penat melalui sekian miligram kafein pada segelas kopi. Di sebuah kafe kecil di Jalan Ganesa, Metro Timur. Waroeng Mantabs namanya. Tepat di tepi sungai, di antara deru jeram air dan lantunan musik pop, para musisi kota berkumpul.

“Kota ini butuh atraksi,” katanya. “Pasar kreatif mati bukan karena kurang pelaku, tapi karena tak ada hal baru.”

Ia membayangkan klaster musik hidup di beberapa RW (Rukun Warga) dalam satu kelurahan. Menawarkan genre berbeda dalam satu kawasan One-Stop Music Experience District. Pengunjung cukup datang dalam satu wilayah kecil dan menikmati beragam genre musik yang hidup di rumah-rumah kafe warga. Pop, rock, dangdut, jazz. Lengkap dengan produk UMKM dan karya disabilitas. Ekonomi bergerak. Napas Kota lebih hidup dan penuh warna.

Malam itu, tidak ada khutbah yang menggurui. Tidak ada sekelompok tim gimik media sosial.

Hanya seorang pejabat publik yang pulang larut, bergadang menimbang harga tomat, mengemas wortel, meneguk kopi, dan mendengarkan musik di tepi sungai.

Barangkali begitulah cara sebuah kota dirawat. Bukan dari podium omon-omon, melainkan dari malam-malam panjang dan kesunyian gerak yang tak ramai dicatat dan terekam, namun diam-diam menentukan masa depan Kota.

Merubah Kota Metro menjadi tempat yang nyaman, aman, dan manusiawi. Tempat orang memilih bertahan, bukan malah pergi.(*)

Sumber: