LAMPUNGNEWSPAPER.COM--Pemerintah Provinsi Lampung melakukan sosialisasi Surat Edaran Gubernur Nomor 188 Tahun 2025 tentang relaksasi rafaksi Harga Acuan Pembelian (HAP) Ubi kayu, di ruang Sungkai, Balai Keratun, Senin (1/12/2025) sebagai langkah menjaga keberlanjutan industri tapioka dan pendapatan petani di seluruh daerah.
Sosialisasi itu menghadirkan Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) Provinsi Lampung, Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI), Masyarakat Singkong Indonesia (MSI), akademisi, pengusaha, advokat, serta para pemangku kepentingan lainnya.
Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setdaprov Lampung, Mulyadi Irsan, menjelaskan bahwa ketentuan harga acuan pembelian ubi kayu sebenarnya telah diatur melalui Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2025. Regulasi tersebut menetapkan HAP Rp 1.350 per kilogram dengan batas maksimal rafaksi 15 persen tanpa memperhitungkan kadar aci.
Namun, pemerintah daerah menilai kondisi pasar beberapa bulan terakhir memerlukan penyesuaian. Setelah berdialog dengan petani dan pelaku industri, Pemprov memutuskan menerbitkan surat edaran tentang relaksasi rafaksi untuk memberikan ruang adaptasi.
BACA JUGA:Melalui Pergub, HAP Singkong di Lampung Ditetapkan Sebesar Rp1.350/Kg
BACA JUGA:Tinjau Pembuatan Pupuk Organik Cair,Gubernur Lampung Dorong Kemandirian Petani
"Relaksasi ini diterapkan sementara waktu dan mulai berlaku pada 1 Desember 2025 hingga 25 Januari 2026," kata Mulyadi.
Dalam kebijakan tersebut, pemerintah menetapkan skema perubahan rafaksi yang dilakukan secara bertahap. Pada periode 1–25 Desember 2025, rafaksi maksimal yang diperbolehkan naik menjadi 25 persen.
Selanjutnya, pada 26 Desember 2025 hingga 25 Januari 2026, rafaksi diturunkan menjadi 20 persen. Setelah masa transisi berakhir, tepatnya mulai 26 Januari 2026, rafaksi kembali ke ketentuan awal yakni batas maksimal 15 persen sebagaimana diatur dalam Pergub 36 Tahun 2025.
Mulyadi menegaskan bahwa Pemprov Lampung telah membentuk tim pengawasan untuk memastikan seluruh pabrik dan lapak mengikuti ketentuan tersebut. Tim itu terdiri dari unsur pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, PPUKI, serta Satgas Pangan.
"Tim ini memonitor dan mendengar langsung apa yang terjadi di lapangan," ujarnya.
Sanksi juga disiapkan apabila perusahaan tidak mematuhi aturan. Tahap pertama berupa teguran tertulis selama maksimal 14 hari. Jika pelanggaran berlanjut, diberikan teguran kedua selama 7 hari. Bila tetap tidak dijalankan, pemerintah dapat menjatuhkan sanksi pencabutan izin pabrik.
"Kami ingin semua pihak mematuhi regulasi. Aturan ini dibuat untuk melindungi petani sekaligus menjaga keberlangsungan industri," kata Mulyadi.
Dalam forum tersebut, perwakilan petani, pengusaha, dan asosiasi industri sepakat mendukung sepenuhnya surat edaran dan Pergub 36 tahun 2025. Komitmen itu disampaikan langsung oleh perwakilan masing-masing lembaga.
Perwakilan Lambang Jaya Group, Tigor, menyatakan kesiapannya menjalankan ketentuan pemerintah. Ia menegaskan pihaknya akan segera menyesuaikan apabila masih ada praktik yang tidak sesuai di lapangan.