Orang Media Bagaikan Katak dalam Tempurung?

Jumat 08-08-2025,23:29 WIB
Reporter : Admin
Editor : Admin

Ketika media masih berdiri tegak sebagai institusi publik, jurnalis bisa berpikir panjang. Mereka punya waktu untuk riset, kesempatan untuk berdebat di meja redaksi, dan ruang untuk menolak intervensi. Tapi sekarang, redaksi seperti dapur yang dikejar waktu. Tak ada lagi diskusi, hanya revisi dan jadwal tayang. Tak ada lagi semangat mengejar kebenaran, hanya target traffic dan deadline viral.

Saya pernah bekerja di sebuah media nasional yang sekarang bagaikan umbul-umbul yang robek dan tiangnya patah. Waktu itu, kantor kami ramai setiap pagi. Ada suara mesin ketik, tumpukan kliping, dan tentu saja, debat kusir yang hangat tentang judul mana yang layak masuk halaman satu. 

Hari ini, saya dengar lantainya sunyi. Banyak meja kosong. Sebagian pindah ke coworking space, sebagian dibubarkan karena tak lagi sanggup menggaji. Ada teman saya yang dulu redaktur senior, sekarang berjualan roti di rumahnya. Dia tidak malu. 

Saya, yang mendengar kisahnya, merasa dunia ini agak bengkok. Apalagi kalau saya teringat tiga media tempat saya pernah bekerja, 1 media cetak dan 2 media daring, malah sudah gulung tikar duluan.

Kita tidak bisa berharap media bertahan hanya dengan menambal dari sisi luar. Perlu pembenahan dari dasar. First principle thinking mengajarkan bahwa kalau kita ingin memperbaiki sesuatu, kita harus kembali ke pertanyaan paling mendasar: mengapa media itu ada?

Media ada bukan untuk sekadar memberi informasi. Ia hadir untuk menyatukan makna dalam masyarakat yang tercerai-berai oleh kecepatan dan kecemasan. Ia adalah ruang perjumpaan, tempat manusia bisa saling memahami.

Kalau hari ini publik tidak lagi percaya pada media, mungkin karena media juga tak lagi percaya pada publik. Kita menyajikan berita, tapi tidak lagi mau mendengar suara pembaca. Kita membuat konten untuk platform, bukan untuk manusia.

Maka solusi tidak cukup datang dari donor atau regulasi. Kita perlu mengubah cara pandang. Media harus mulai membangun ulang relasi dengan masyarakat. Bukan hanya lewat survei atau program CSR, tapi lewat keterlibatan nyata.

Libatkan komunitas dalam penyusunan agenda liputan. Dengarkan keluhan mereka, bukan hanya dalam format aduan pembaca. Dan yang terpenting, ciptakan kembali ruang perdebatan di redaksi, bukan hanya soal teknis produksi, tapi tentang nilai-nilai yang ingin dibawa.

Saya melihat harapan itu di beberapa tempat. Ada media kecil yang hidup dari dukungan pembacanya. Ada kanal independen yang berani transparan soal sumber dananya. Mereka tidak besar, tapi punya akar. Mereka tidak viral, tapi dipercaya. Di tengah reruntuhan industri media besar, mungkin justru media-media kecil inilah yang sedang membangun fondasi baru.

Tentu jalan mereka tidak mudah. Ketergantungan pada donatur tetap menyimpan risiko. Tapi lebih baik menggantungkan hidup pada publik, daripada terus menjadi kaki tangan iklan politik dan agenda negara. Dan kalau pemerintah sungguh peduli pada keberagaman informasi, mereka bisa menciptakan skema dukungan publik yang transparan dan adil, tanpa mencampuri redaksi.

Sebagai pensiunan, saya tidak lagi punya kuasa di ruang redaksi. Tapi saya masih punya harapan. Bahwa suatu hari nanti, anak-anak saya bisa membaca berita yang tidak hanya cepat, tapi juga bermakna. Bahwa mereka bisa percaya pada jurnalis seperti dulu saya percaya pada guru, dokter, atau tokoh masyarakat. Bukan karena jurnalis itu sempurna, tapi karena mereka berdiri di sisi kebenaran, bukan trafik.

Dan untuk itu, kita harus berhenti bicara hanya pada diri sendiri. Ayo keluar dari tempurung. Dengarkan para teknolog, para ekonom, dan para sociopreneur yang sedang menciptakan dunia baru. Jangan malu belajar dari mereka. Jurnalisme yang baik tidak lahir dari keangkuhan, tapi dari kerendahan hati untuk terus mencari bentuk yang paling manusiawi.

Jika kita terus menyalahkan keadaan tanpa mengubah cara berpikir, maka suara media akan benar-benar hilang. Bukan karena dibungkam, tapi karena ditinggalkan. Dan ketika itu terjadi, kita bukan hanya kehilangan berita. Kita kehilangan bagian dari demokrasi itu sendiri.

Saya menulis ini bukan untuk menggurui. Tapi untuk mengingatkan. Bahwa meski usia saya tak muda lagi, saya masih percaya pada kekuatan cerita. Bukan cerita viral, tapi cerita yang tumbuh dari nurani. 

Saya ingin, sebelum saya benar-benar pensiun dari kehidupan ini, bisa membaca satu berita yang ditulis bukan karena harus tayang cepat, tapi karena memang perlu disampaikan. Karena di sanalah, jurnalisme yang sejati hidup.(*)

Kategori :