METRO.LAMPUNGNEWSPAPER - Menanggapi narasi yang beredar bahwa Wakil Wali Kota Metro, Qomaru Zaman, telah melakukan kampanye terselubung melalui unggahan video di TikTok, pemerhati peraturan dan perundangan Pilkada sekaligus Lawyer, Ardat Putra Kesuma memberikan tanggapan hukum terkait permasalahan itu.
Menurut Ardat, dugaan pelanggaran yang dilontarkan terhadap Qomaru memerlukan verifikasi hukum yang tegas dan tidak bisa hanya bersandar pada spekulasi publik atau persepsi yang muncul dari media sosial.
"Dalam situasi Pilkada, kita harus berhati-hati dalam membuat kesimpulan berdasarkan konten media sosial, seperti video TikTok. Tidak semua yang terlihat dalam video dapat diartikan sebagai kampanye, apalagi tanpa adanya unsur ajakan politik yang eksplisit dan terjadi luar masa penetapan calon dan masa kampanye oleh KPU" ujar Ardat.
"Peraturan Komisi Pemilihan Umum memiliki kriteria yang sangat jelas tentang apa yang dimaksud dengan kampanye, dan unsur-unsur tersebut harus dipenuhi agar sebuah tindakan dianggap melanggar."
Ardat menjelaskan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, kampanye didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pasangan calon, tim sukses, atau pihak lain yang bertujuan untuk mengajak atau mempengaruhi pemilih untuk memilih calon tertentu. Pasal 69 dari undang-undang tersebut merinci beberapa kegiatan yang dianggap sebagai kampanye, di antaranya menyampaikan visi, misi, program, atau ajakan untuk memilih calon tertentu.
"Untuk bisa dikategorikan sebagai kampanye, harus ada elemen penting seperti ajakan langsung untuk memilih atau penyampaian visi dan misi secara terbuka. Bagaimana mengajak untuk memilih sementara pencalonan dan nomor urut belum ditetapkan. Jika video TikTok tersebut tidak mengandung unsur ini—hanya menampilkan kegiatan Qomaru sebagai Wakil Wali Kota dalam tugas resmi—maka tuduhan bahwa ia berkampanye tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," jelas Ardat.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa program bantuan sosial (bansos) yang didistribusikan oleh pemerintah, dalam konteks ini, bukanlah bagian dari kampanye politik jika dilakukan dalam rangka tugas resmi Qomaru sebagai pejabat publik. "Bansos adalah program pemerintah yang sah dan reguler, terutama dalam situasi krisis atau pemulihan ekonomi di tengah masa deflasi. Tidak ada pelanggaran dalam hal ini, selama penyaluran dilakukan secara transparan dan sesuai dengan regulasi," tambahnya.
Dalam konteks pembuktian, Ardat menekankan pentingnya analisis forensik terhadap video yang viral di TikTok. "Konten digital seperti video TikTok sangat rentan terhadap manipulasi atau penyuntingan yang dapat mengubah konteks asli dari peristiwa. Oleh karena itu, penilaian terhadap video ini harus dilakukan dengan hati-hati dan disertai dengan bukti-bukti tambahan," ujarnya.
Ardat juga menyoroti bahwa video yang beredar di media sosial sering kali dipotong atau diedit lalu dimanipulasi untuk menciptakan narasi dan membangun persepsi tertentu yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Dalam kasus Qomaru, video tersebut harus diverifikasi lebih lanjut untuk memastikan apakah benar mengandung unsur kampanye atau sekadar aktivitas pemerintahan yang dilaksanakan secara sah.
"Jika video tersebut hanya menampilkan Qomaru dalam acara penyaluran bansos tanpa simbol partai bahkan tanpa alat peraga seperti nomor pasangan dan foto resmi yang digunakan dalam kertas suara maka secara hukum, sulit untuk mengkategorikan itu sebagai kampanye. Kita juga harus mempertanyakan sumber video, siapa yang mengunggahnya, dan apakah ada manipulasi yang terjadi sebelum video tersebut viral," tegasnya.
Dalam hal ini, Ardat juga menekankan pentingnya prosedur pembuktian yang sesuai dengan prinsip due process of law atau asas proses hukum yang adil. "Pihak yang menuduh harus mampu menghadirkan bukti yang sah dan valid, bukan hanya mendasarkan pada konten viral yang belum diverifikasi," tambahnya.
Menurut Ardat, salah satu aspek penting dalam penilaian ini adalah waktu terjadinya peristiwa yang terekam dalam video TikTok. "Jika video tersebut diambil sebelum masa kampanye resmi dimulai, maka tuduhan ini secara hukum tidak valid. Dalam hukum pemilu, waktu kampanye resmi diatur ketat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan aktivitas sebelum masa kampanye belum diatur sebagai pelanggaran kampanye, kecuali ada penyalahgunaan wewenang," jelasnya.
Ardat menambahkan bahwa masa sebelum kampanye resmi dimulai adalah masa di mana petahana seperti Qomaru Zaman masih menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Hal ini berarti, selama aktivitas tersebut merupakan bagian dari tugas resminya sebagai Wakil Wali Kota, dan tidak ada ajakan untuk memilih dengan jelas dan lugas yang mengarah kepada ajakan mencoblos pada nomor urut paslon yang telah ditetapkan KPU, maka hal itu sah secara hukum.